
Oleh: Miri Pariyas*
Whatsapp tak henti berbunyi seperti alarm yang sengaja dibuat untuk menghabiskan waktu berjam-jam menatap gawai. Segala sumber memang dipusatkan pada satu alat komunikasi itu.
Tanpa melihat realita dan hanya berbekal pesan sudah bisa menyimpulkan apa maksud dari isi itu. Misalnya, foto pelatikan Kader PMII yang bertebaran di mana-mana. Niatannya, hanya memberikan informasi bahwa ada estafet kepimpinan yang baru.
Kata selamat pun menjadi kewajiban bagi semua kader tanpa terkecuali. Peruntukan itu hadir untuk membangun kobaran api kepada kader yang telah usai dilantik.
Ditambah dengan pidato Ketua Rayon yang berapi-api. Lalu, disambut dengan tepukan tangan membuat perayaan semakin meriah dalam forum itu. Setidaknya, sulutan api itu menjadi bekal untuk melakukan perubahan seperti pidatonya.
Usai acara semua barisan merapat lalu, mengepalkan tangan kiri sambil berteriak “Salam Pergerakan!!!!. ” Sepertinya, ruangan itu menjadi saksi setiap janji yang telah mereka ucapan.
Katanya, momentum itu sakral. Maka, wajib bagi semua kader untuk mengikuti kegiatan itu. Apa yang sebenarnya ditawarkan dalam kegiatan itu ketika menjadi wajib dan sakral ??? Api kobaran yang disulut oleh Ketua Rayon, Ketua Komisariat kah ? atau hanya sekedar mengucakan janji ? Ah, sial aku teringat sumpah para penguasa yang tergampang lihai mengucapkan janji namun, kilat untuk melanggar.
Tentu, dalam hal ini semua kader seharusnya merefleksikan kegiatan itu. Bukan hanya sekedar pelantikan dan pembaitan bahwa secara administrasi “sah menjadi kader penggurus”.
Artinya, nilai-nilai sosial utamanya visi-misi PMII sebenarnya harus disampaikan dalam momentum itu. Kalau ingin menukil nasehat Hasanuddin Wahid “Totalitas kader dalam ber-PMII harus diwujudkan dengan membangun dunia pergerakannya sendiri untuk menemukan mandat intelektualitasnya sebagai mahasiswa, mandat religiutasnya sebagai orang islam dan mandat sosial-kulturalnya sebagai warga Indonesia”.
Ada tiga mandat yang manjadi pekerja rumah dalam dunia pergerakan PMII. Barang tentu slogakan holopis kuntul baris menjadi semangat untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Tak ada yang ringan dan berat sebelah. Semua dipikul bersama-sama. Seperti kata makna sahabat itu. Kalau kata pujangga “Sahabat itu tidak bisa di belakang maupun di depan, tapi beriringan”.
Setidaknya, tidak ada yang paling dominan atas pekerjaan itu. Semua, punya peran mengambil posisi perubahan. Tentu, pekerjaan itu tidak bisa disikapi hanya sekedar bekerja tanpa pengetahuan.
Bukankah, Mahbub Junaidi adalah seorang aktivis intelektual ? Dimana, pekerjaan seorang aktivis selalu diringi dengan pengetahuan. Tak jarang juga tulisannya mengeritik penguasa yang dholim. Setidaknya semua terekam dari tulisan-tulisannya itu.
Pekerjaaan itu perlu diselesaikan dengan pengetahuan. Hari ini, peperangan senjata memang sudah musnah dalam peradaban Indonesia. Tapi, pengetahuan dominan yang kapitalisme bertebaran di mana-mana. Tanpa sadar terkadang kita juga andil dalam ranah itu.
Pendidikan yang kapitalisme memang menawarkan 1000 cara jitu mendapatkan kebahagian berupa janji peluang pekerjaan. Di samping itu sebenarnya mereka hendak memperlemah kesadaran akan kebenaran dan keadilan. Kok bisa? Itulah pekerjaan kita untuk membedahanya, selain tiga mandat tadi.
Mari kembali membedah paradigma kritis transformatif dan semua wacana kiri. Niatan awalnya untuk menjaga tradisi PMII. Dulu sewaktu mahasiswa baru tawaran awal yang menjanjikan, apabila mengikuti PMII adalah ada kegitan intelektual yang mengasah daya kekritisan kader. Dan hal itu menjadi privilege untuk kita semua.
Hal ini menarik dan akan terus menarik jika dirawat. Tentu hal itu menjadi proyeksi untuk kita semua. Sebab, kekacauan situasi di tengah negeri yang berkecamuk ini, peran kader PMII sangat dirindukan untuk mengisi kanal-kanal perubahan.
Salam Pergerakan !!!!!!!!!!
*Penulis ialah Anggot Biro Advokasi HAM dan Lingkungan Hidup Bidang II PC PMII Kota Malang
Matematika Gerakan dan Bangsa
RIBUAN PENGUNJUNG MENIKMATI AIR MANCUR
RIBUAN PENGUNJUNG MENIKMATI AIR MANCUR